Blog
I’tikaf
- Juli 11, 2015
- Posted by: LAZNas Chevron
- Category: Konsultasi Syariah
I’tikaf adalah sebuah ibadah sunnah yang dianjurkan kepada setiap muslim untuk melakukannya; beruntung orang yang mengerjakannya dengan pahala besar dan merugi bila tidak berupaya meraihnya. Semoga dengan i’tikaf ia dimuliakan Allah dengan lailatul qadar. Namun i’tikaf menjadi wajib dilakukan apabila dinazarkan untuk melakukannya.
Disebut I’tikaf apabila seseorang menetap di dalam masjid selama waktu yang disebut seseorang sudah menetap di sebuah masjid berdasarkan kebiasaan. Maka, berdiam diri di masjid selama 5 menit yang diniatkan untuk ber’tikaf sudah terhitung melaksanakan i’tikaf. Karena di dalam syariat tidak dibatasi berapa lama kadar waktu yang disebut melaksanakan i’tikaf, sehingga bisa disebut beri’tikaf untuk berdiam diri di dalam masjid dalam waktu yang lama dan waktu yang sebentar. Namun ulama menyatakan sunnah hukumnya beri’tikaf selama sehari penuh, karena sebagian ulama mensyaratkan bahwa i’tikaf mesti dilakukan selama sehari penuh atau lebih. Ulama juga menyatakan sunnah bagi setiap orang yang masuk masjid agar meniatkan diri untuk melakukan i’tikaf. Maka berniatlah untuk i’tikaf setiap memasuki masjid; nawaitu al-i’tikaf lillahi ta’la (saya berniat melaksanakan i’tikaf karena Allah subhanahu wa ta’ala).
Tidak ada batasan untuk masa maksimal melakukan i’tikaf. Semakin lama/semakin banyak hari yang digunakan untuk i’tikaf akan semakin lebih baik. Bahkan boleh jika sepanjang usia digunakan untuk i’tikaf atau sepanjang usia dinazarkan untuk i’tikaf.
I’tikaf bisa dilakukan sepanjang tahun dan setiap waktu. Waktu memulai dan mengakhiri i’tikaf tergantung waktu yang ditentukan sendiri oleh seorang yang hendak melaksanakan i’tikaf. Jika seseorang sudah mematok waktu tertentu untuk i’tikaf, dianjurkan agar ia menyempurnakan i’tikafnya berdasarkan waktu yang dipatoknya. Jikalau ia memutuskan i’tikafnya sebelum waktu yang dipatoknya, tidak apa-apa. Karena ibadah sunnah tidak harus diselesaikan, ketika sudah memulai melakukannya.
Orang-orang yang hendak beri’tikaf hendaklah mereka melakukan i’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan, seperti yang dicontohkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulai pada malam ke dua puluh satu, ia masuk masjid sebelum matahari terbenam/ sebelum waktu berbuka pada sore hari dua puluh Ramadhan. Dan ia menyelesaikan i’tikafnya setelah selesai shalat ‘Idul Fithri, agar pada malam takbiran ia tetap bisa melaksanakan ibadah sunnah di malam harinya. Boleh juga jika pada malam terakhir Ramadhan ia sudah meninggalkan masjid tempat beri’tikaf.
I’tikaf dilakukan di masjid-masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah di dalam nya. Dan lebih baik diadakan di masjid-masjid yang dilaksanakan shalat jamaah dan dilaksanakan shalat jum’at di dalamnya, karena jamaah lebih banyak pada shalat jamaahnya dan agar orang-orang yang beri’tikaf tidak lagi keluar masjid tempat ia i’tikaf untuk melaksanakan shalat jum’at. Akan lebih afdhal bila i’tikaf dilakukan di Masjidl Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsha.
Orang yang i’tikaf tidak boleh keluar masjid, kecuali untuk melakukan hal-hal yang sangat penting dan keperluan yang harus dilakukan di luar masjid. Jika seorang yang i’tikaf keluar masjid tanpa keperluan yang diizinkan agama, pada saat itu batal/ terputus i’tikafnya. Untuk memulai i’tikaf, ia mesti berniat lagi dari awal. Diantara keperluan yang diizinkan keluar masjid adalah keperluan untuk mandi, thaharah, menghilangkan najis, mencuci pakaian, menarik uang di ATM untuk keperluan selama i’tikaf, membeli makanan jika kehabisan bekal, dan memenuhi kebutuhan penting lainnya.
Wallahu a’lam