Blog
Etika Keuntungan Ekonomi Dalam Perspektif Ekonomi Syariah
- Oktober 2, 2014
- Posted by: LAZNas Chevron
- Category: Konsultasi Syariah

Literatur ekonomi syariah mengakui eksistensi keuntungan (al-ribhu) dalam bisnis. Untung dan rugi merupakan konsekuwensi logis dari praktek bisnis. Al-Nawawy dalam Raudhat Al-Thalibin (1995: 108) menyatakan bahwa praktik jual-beli/bisnis bermaksud agar harta tersebut dapat berkembang melalui keuntungan yang diperoleh. Dalam konteks aktivitas investasi, keuntungan juga masih merupakan motivasi utama, bahkan ianya merupakan ukuran prestasi (kinerja) suatu perniagaan, apakah perniagaan itu wujud dan berkembang atau mengalami kepunahan? Misalnya dalam sistem bagi hasil pada praktek mudharabah dan musyarakah (investasi), pembicaraan tentang untung dan rugi telah dibangun ketika awal transaksi. Pembagian proporsi keuntungan harus disepakati pada saat majlis akad. Ini bermaksud untuk memelihara harmonisasi kedua belah pihak atau pihak-pihak yang berkaitan.
Kajian tentang untung dapat kita temukan dalam transaksi murabahah dan mudharabah. Skim murabahah adalah menjual produk dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati. Keuntungan murabahah harus nyata dan transparan. Sebagaimana Ibn Qudamah dalam al-Mughni (1994) menyebutkan bahwa murabahah adalah menjual dengan harga modal disertai dengan margin keuntungan yang jelas dan transparan. Menurut jumhur ulama fiqh modal adalah harga beli. Ketika seseorang melakukan jualan murabahah maka ia menjual lebih dari harga beli (modal), dan kelebihan tersebut adalah untung.
Adapun dalam transaksi mudharabah, keuntungan terlihat pada kelebihan harta setelah dikurangi modal dan beban-beban biaya demi tercapainya untung.
Dari berbagai definisi untung menurut para ulama tafsir dan fiqh, penulis dapat menyimpulkan bahwa keuntungan adalah kelebihan dari modal dan atau kelebihan dari modal serta beban-beban biaya demi tercapainya untung, sebagai akibat dari aktifitas perniagaan/bisnis. Melalui definisi ini, dapat difahami bahwa keuntungan hendaklah dihasilkan dari dua unsur utama, yaitu usaha (al-a’mal) dan modal (ra’sul mal). Seandainya keuntungan diperoleh bukan dari hasil dua unsur tersebut, maka ia bukanlah dinamakan keuntungan. Seperti praktek membungakan uang (ribawi). Hal ini mengingatkan kita betapa penting dan mulianya peranan ”usaha” dalam meraih keuntungan.
Pencapaian keuntungan (laba) dalam perspektif Islam mesti beretika. Etika memperoleh keuntungan tersebut mengacu kepada sumber ajaran ekonomi syariah, yaitu Al-Quran, al-Hadis dan ijmak para ulama shaleh. Seorang muslim dilarang meraih keuntungan melalui ukuran akal, kelezatan nafsu (hedone), garis keturunan dan adat istiadat yang bertentangan dengan prinsip Islam.
Keuntungan yang beretika akan melahirkan keberkahan. Sehingga ditemukan dalam teori perilaku produsen muslim bahwa tujuan produsen muslim memproduksi barang dan jasa adalah untuk mencapai mashlahah maksimum. Formulasinya adalah keuntungan ditambah keberkahan. Maka, motivasi produsen muslim bukan hanya sekedar mengharapkan keuntungan (fisik) semata, namun harus memperhatikan aspek keberkahan (non fisik).
Ada empat asas penting yang mesti diperhatikan para pelaku bisnis muslim dalam usaha meraih laba: Pertama, perolehan keuntungan bebas dari praktek riba. Kedua, keuntungan bukanlah dihasilkan melalui praktek penipuan dan tipudaya muslihat (al-ghabn). Ketiga, keuntungan bebas dari unsur-unsur kebatilan (al-gharar). Keempat, perolehan keuntungan bebas dari praktek monopili barang (al-ihtikar).
Ketika etika keuntungan di atas tidak diimplementasikan dengan optimal, ketika semua pelaku bisnis melalaikan etika tersebut, maka kondisi ini rawan terhadap terpaan krisis. Jika ini terjadi, pengaruhnya tidak hanya mengusik individu yang bersangkutan, bahkan dapat mengganggu stabilitas ekonomi suatu bangsa.
Para pakar ekonomi Islam menyebut bahwa akar krisis kuangan global berpuncak dari kegagalan ekonom Kapitalis membangun etika (ethics) dan moral dalam berekonomi, terutamanya masih berlakunya praktek bunga (ribawi). Menurut hemat penulis bahwa etika berekonomi menjadi pilar utama dan prinsip bermuamalah. Ekonomi yang melalaikan sisi moral juga menjadi penyebab munculnya krisis moneter di negara Indonesia pada tahun 1998. Tepatlah apa yang dikemukakan oleh Adam Smith –pelopor sistem ekonomi Kapitalis-, bahwa ekonomi yang berperadaban tinggi senantiasa menjunjung moral, dan contoh terbaik masyarakat yang berperadaban tinggi yang mapan secara ekonomi adalah Muhammad.
Ekonomi Islam yang beretika ternyata mendapat sambutan baik dari pihak Vatikan. Pernyataan yang mengejutkan ini menghendaki agar perbankan dunia melongok pada peraturan keuangan Islam. Prinsip yang beretika yang diusung perbankan Islam dapat mendekatkan pihak bank dengan para nasabahnya (Kompas, 5/5/2009).
Etika berikutnya bagi pelaku bisnis yang telah meraih laba adalah bijak dalam menyikapi kelebihan rezeki yang ada, melalui pendistribusian harta dalam bentuk Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (ZISWAF), untuk disalurkan kepada golongan yang berhak. ZISWAF merupakan instrumen penyaluran harta yang spektakuler. Seorang muslim dituntut untuk peka terhadap kondisi sosial sekitarnya, peduli terhadap realitas kemiskinan saudaranya. Meyakini bahwa pada kelebihan harta mereka terdapat hak dhu’afa. Allah dan Rasul-Nya menerangkan bahwa tidak akan pernah berkurang harta dari sedekah yang dikeluarkan, bahkan ia akan menumbuhkembangkan rezeki.
Oleh itu, implementasi etika pencapaian keuntungan dalam usaha-usaha bisnis/perniagaan sebuah keniscayaan. Dan bijak menyikapi kelebihan rezeki melalui instrumen ZISWAF menjadi sebuah pilihan. Dengan ini, kita telah memenuhi kehalalan sumber rezeki dan ketepatan pendistribusian rezeki.
Wallahua’lam
J. Ardan Mardan, M.A, M.M
Pengawas Syariah LAZNas Chevron Indonesia